Selamat Membaca ^_^

Bahagiaku Bersemayam di atas Ridho Mertua



Hari ini kurasa sama seperti hari kemarin, hanya saja langit di sore ini tampak unik, goresan kuning tipis berpadu dengan biru gelap, warna yang ku kira tak padu malah terlihat serasi dan indah. Lima menit menunggu tandon air yang kosong, ku gunakan untuk melemaskan otot-otot tegang setelah berkelut dengan tumpukan pekerjaan rumah. Memang pekerjaanku sangat padat, lebih padat dari suamiku yang bekerja di kantor desa. Membantu suami wajib bagiku selagi aku mampu, yah.. tak lain alasannya demi anak-anakku. Ku toleh penunjuk waktu, takut kesorean, karena aku masih belum bersih diri dan sujud. Setelah tandon air penuh aku mandi lalu sholat, dalam sujud aku mengutamakan doa untuk keselamatan anak-anakku yang sedang mengais ilmu di kota seberang, disusul doa untuk keselamatan belahan jiwaku hingga tak jarang aku melupakan doa untuk diriku sendiri, aku baru sadar itu.

Dua hari lagi libur sekolah, aku juga libur memasak untuk makan siswa-siswa yayasan, jadi kesibukanku berkurang. Suamiku mengabarkan “mak” akan datang kerumah, aku tak mau berkomentar apa-apa, biarlah mertuaku itu datang. Tidak ada hal yang perlu disiapakan. Hanya perlu menyiapkan kelapangan hati karena aku memang sejak dulu dipandang sebelah mata oleh mak. Semua masalah terjadi tanpa aku sadari, fitnah tumbuh menjadi duri-duri yang tajam, mengganggu keharmonisan keluarga, bahkan keharmonisanku bersama suami. “Sabarlah terhadap kelakuan emak…” nasihat halus suamiku yang mampu menguatkan kakiku untuk tetap berdiri dan melakoni peranku sebagai istri. Kadang aku pun tak kuasa hingga suamiku yang jadi imbasnya. Namun dia mengerti, saat aku ngomel, dia hanya diam, karena aku hanya butuh didengarkan. Hingga pernah suatu hari aku menangis dipangkuan suamiku, menangis sejadi-jadinya, aku ingin dimengerti, aku tidak merasa melakukan kesalahan namun mengapa mertua melontarkan tuduhan-tuduhan kejam. Setelah melihat suami yang tak bisa memberi solusi, terbesit hati ini untuk thalak,… ah itu sudah cerita setengah tahun yang lalu, kini hatiku mulai belajar menerima, meski ujung permasalahan belum ku temukan.


“mak …. Makanan sudah siap” aku mempersilahkan makan pada ibu mertuaku satu-satunya untuk menikmati hidangan pagi yang tlah ku siapkan. Lengkap, nasi, sayur, lauk juga buah. Ku lihat mak kelelahan setelah perjalanan, dia tanpa ekspresi. Sebelum beranjak ke ruang makan mak memintaku untuk menghubungi saudara yang lainnya dan mengabarkan kalu mak sudah di kota. Harapanku juga sejalan dengan mak, ku ingin saudara-saudara datang supaya yang mengurusnya bukan hanya aku saja. Di kota ada 4 anak mak yang sudah berumah tangga namun nyatanya mereka tak bisa kerumahku. Perasaanku menjadi janggal, seolah mereka enggan menemui maknya yang datang dari desa. Tak apalah…


Malam tiba, kudengar rintihan suara mak, dia merengek. Kedua tangannya memegang perutnya. Aku tergopoh-gopoh mendekatinya, “Perutku sakit nak…. Ada obat diare?” aku menggeleng cepat. Sayang sekali saat darurat seperti ini aku tak bisa lepas dari kepanikan. Mak memerintahku untuk segera membeli obat. Sebenarnya aku ingin segera membopong mak ke toilet, namun mak tak mau. Mak bilang bisa melakukan sendiri padahal ku lihat tubuhnya bergetar takkan mampu untuk berjalan menuju toilet yang jaraknya 10 meter dari kamar. “Mak kalau tak bisa berjalan ke toilet, keluarkan saja di sini, nanti aku bersihkan”,pesanku sambil bergegas pergi membeli obat.


Sepeninggalku mak tertatih menuju toilet, kotorannya tak tertahan hingga terjatuh di sepanjang tapak kakinya, mak malu jika buang air besar di atas tempat tidur, padahal meskipun ke toilet kotorannya malah tercecer rata menimbulkan bau busuk, busuknya menyengat ke seluruh ruangan rumahku.


“Mak.. ini baju gantinya, baju yang kotor biar ku cuci, “iya” sahut mak di balik pintu toilet


Aku membersihkan semua kotoran mak di kasur, lantai dan bajunya. Ada yang menyesak di dada namun berubah menjadi lega saat memandang mak yang tlah membaik. Aku bersyukur obat diare bekerja dengan baik.


3 hari berlalu, kesehatan mak memulih. Setiap hari ku beri perhatian yang lebih, Aku takut mak kambuh. Hari ke 4 mak merencanakan untuk pulang, sebelum berkemas-kemas mak mohon maaf atas kejadian yang tidak terduga dan sangat merepotkanku. Mak sedikit cerita tentang sakit yang dirasakan di usianya yang sudah tua. Ternyata mak di rumah juga sering sakit diare, pegal linu, pusing dan lain-lain. Aku mengangguk-angguk berulang kali bukan hanya isyarat bahwa aku mengerti namun aku seolah merasakan yang mak rasakan. Wanita yang kaya uban itu menutup ceritanya dengan doa yang ku amini. Aku tak pernah merasakan saat-saat sekhidmat itu bersama mertua. Yah.. selama 20 tahun, baru kali ini.


2 minggu berlalu, ku mencium wangi kabar berhembus dari saudara-saudaraku. Mereka berkata bahwa mereka tak menyangka aku tlah baik pada mak. Mak telah menceritakan kronologi saat di rumahku, mak juga katanya menyesal tlah menganggapku menantu yang tidak baik dari menantu yang lainnya.


3 minggu setelah kejadian itu aku mendapatkan kejutan berturut-turut dari Sang Maha Kasih. Anak gadisku si sulung mengabarkan telah mendapatkan beasiswa dari Universitas berkat kegigihannya. Meski nominalnya tak seberapa aku sangat bersyukur. Dan syukurku tak berhenti karena merasa perkembangan dan kelancaran pekerjaanku dan suami. Kami sepakat untuk mendaftar ibadah haji dan sisanya digunakan suami untuk melanjutkan S1 dan selesai sangat cepat. Tidak hanya berhenti di situ, anak laki-lakiku juga mengabarkan bahwa dia mau menghafalkan alfiyah di pesantren, hehehe anak yang dulu susah menghafal menyatakan sanggup dan mau memulainya. Puncak dari nikmat itu adalah aku tlah rukun dengan mertuaku. Alhamdulillah


Kehiduapan keluargaku begitu indah setelah kunjungan mak ke rumah. Kini aku merindukan kehadiranya kembali. Mungkin doa beliau menyatu dengan doaku hingga mampu menerobos gerbang langit, atau mungkin ridhonya mengantar doaku menuju arsyNya, entahlah.... itu rahasiaNya. Trimakasih mak.
Digg it StumbleUpon del.icio.us

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright 2011 Aku, kau, dan kalian
Aroby Art : by faiq aroby. Supported by Bloggermint