Selamat Membaca ^_^

MUTIARA DARI SAHABAT part II

“Siapa?”,
hanya sepatah pertanyaan itu yang mampu di ucapkan Jany.
“aku sangat mengenalmu, aku ingin menjadi sesuatu yang bisa merubah kebisuanmu. Aku ingin menjadi sebab mata mu melihat keindahan dunia dan terbangun dari kesedihan panjang, bahwa hidup bukan hanya untuk bersedih, kenapa selalu mendung dan mengapa selalu gelap yang terpandang, padahal cahaya itu dekat. Pintu-pintu kebahagiaan tersedia untukmu”, makhluk aneh itu berdalih.

“Siapa kamu?!!”, kali ini Jany membentak tapi sungai-sungai kecil tetap mengalir di sudut mata Jany. Kata-kata makhluk itu jauh menyentuh hati Jany yang sudah lama rindu akan kepedulian seorang teman. Jany sudah lama terabaikan, hanya ibu dan adiknyalah teman sekaligus keluarga. Tapi sayangnya kini sudah tiada. “Aku Sintia”, tangan lembut Sintia menghapus sungai-sungai kecil ciptaan Jany. Sentuhan tangan itu membuat jany semakin tergetar, bibirnya digigit kuat-kuat. Dia menjatuhkan tubuhnya, kaki Jany tak mampu tegap menginjak daratan. Jany merasakan sentuhan ibunya pada jemari Sintia.Sintia tersenyum dan memaikan ranbutnya yang hitam tebal,”meski kita berbeda tapi aku mau menjadi sahabatmu, kamu mau??”. Jany menggigit lidahnya, suaranya terputus-putus. Jany mendongak dan berkata bahwa dia ingin mengajak Sintia pulang.

Tak lama Jany siuman, ayahnya yang tlah menunggui lama segera mengambilkan air putih. Jany tak hawatir lagi karena Sintia masih tersenyum-senyum di atas jendela memberi isyarat kepada Jany, hidup baru di awali pada hari ini.

##

`Persahabatan yang indah, bertahun-tahun mereka hidup bersama. Meski tak jarang mereka sering berdebat tentang hal remeh sampai hal-hal yang sangat membingungkan. Di kebun tempat faforit mereka menghabiskan waktu luang terjadi lagi sebuah perdebatan kecil.

“ Sekarang ku lihat ada yang berbeda, kenapa kamu Jan?, aku tidak melihatmu manusia sebagai manusia sesungguhnya,aku melihatmu lebih dari seorang iblis…” pertanyaan Sintia mengagetkan Jany.

Jany merasa bingung karena tanpa penjelasan Sintia menyerbunya dengan pertanyaan kasar. Sepertinya hal yang sangat fatal telah dilakukannya.

Jany tersinggung dan tak mengerti,” Heii.. Apa maksudmu?. Apa kamu tidak mau barteman lagi denganku?. Apa kamu merasa lebih baik dariku?. Padahal manusia yang diciptakan Tuhan dengan sebaik-baik penciptaan. Atau karena lebih tua dariku?.” Jany pun berbalik tanya. “Tidak begitu, bukankah SHADIQUK MAN SHADAQAK LAA MAN SHADDAQAK?. Aku ingin mengatakan hal penting, tapi Aku merasa perkataanku akan terlalu jauh kecuali kamu benar-benar membutuhkannya”. Suara Sintia lebih terdengar memelan di bagian kalimat akhir.

Jany kali ini terpaksa menahan senyum mendengar kata-kata sahabatnya, kepalanya masih bingung karena penasaran, tapi dia mengerti dan sadar bahwa Itulah kelebihan sahabat anehnya itu. Dia lebih tahu apa arti sebuah ikatan persahabatan dari pada manusia biasanya. Sahabat yang mengerti apa yang harus dilakukan ketika sahabatnya melakukan kesalahan, tidak rela bila sahabatnya disakiti, dan kata-katanya adalah sebuah obat, meski kadang jin tidak begitu kompeten dalam berintonasi dalam perkataannya. Tapi makna hakikinya sebuah perkataan bukan pada suara ataupun penyusunannya, tapi pada dampak perkataan ketika sampai pada orang lain.

“Katakanlah jika kau merasa sahabatmu ini pantas melakukan perbaikan,Jika aku tidak pantas lagi, simpan saja aku tidak mau kamu menyesal setelah kamu mengatakannya”,Jany memohon.

Sintia mengibas-ngibaskan rambutnya yang tidak bisa memutih itu, tampak sekali dia berfikir. Dia sangat menyayangi Jany, jadi dia tidak akan tega untuk membiarkan sahabatnya terperosok dalam kerusakan zaman yang di buat manusia sendiri.
“Kamu sekarang terlewat sombong Jan..”
“ Apa yang bisa aku sombongkan? Aku lahir dari keluarga yang kurang mampu, hidup sederhana, kecantikan atau juga kepandaian?Aku tak punya semuanya.” Ia berkomentar jujur.

“Sebagian orang menilai sombong adalah merasa hebat, menurutku itu hanyalah luarnya. Yang lebih dalam, salah satunya adalah ketika seseorang sudah tahu salah masih tetap dilanggar, itu sama saja meremehkan dan mengejek Tuhan. Manusia dikasih tahu yang benar tapi ngeyel kayak udah gak butuh Tuhan aja, atau merasa Tuhan Maha Pengampun, tapi sengaja bersalah. Itu sama saja mengolok-olok Tuhan. Dosa Adam karena nafsu, jadi masih bisa diampuni, tapi iblis dengan kesombongan. Itu yang tidak bisa di tolerir. Tapi manusia lebih sombong lagi, semoga saja masih bisa diampuni”.

Kali ini Jany mengerti kesalahannya, tanpa penjelasan yang gamblang dari jin sahabatnya itu. Dua minggu yang lalu Jany menerima cinta dari seseorang, ternyata selama itu Sintia menahan rasa kesalnya yang baru diungkapkan sore ini. Mungkin Sintia takut menghentikan kebahagiaan Jany yang baru dirasakan bersama cintanya

“Bagaimana dengan al insanu ibnu zaman?, ini semua juga pengaruh zaman, manusia tidak bisa lari dari zamannya”, sebenarnya Janypun tak mau mengalah. “Banyak manusia mendesak zaman dan sikon, padahal mereka mampu menyeimbangkannya. Setiap sesuatu yang wajar itu membuat celah mundurnya agama, bermiliaran contoh buat ini. Kalau bicara udzur, udzur seperti apa?. Umpama saja sakit. Lalu Nabi Ayyub bagaimana?. Sibuk karena harta? Nabi Sulaiman bagaimana? Miskin? Nabi Isa As bagaimana? Wanita dan kedudukan? Yusuf bagaimana? Lalu udzur apalagi yang diajukan?, semuanya ditolak mentah-mentah. Zaman memang pengaruh, Tuhan sudah mentolerir tuntutan setiap zaman makin mudah toleransinya, tidak ada udzur lagi”. Sintia panjang lebar menjelaskan pelajaran baru untuk sahabatnya.

“Jangan samakan aku dengan mereka, aku dan nabi-nabi itu berbeda maqom”, keluh Jany.

“Mereka juga manusia Jany, lalu apa gunanya kita mengetahui kisah-kisahnya jika tidak meneladaninya?. Kamu bisa sayang,.kamu pasti bisa meneguk kepahitan tanpa cemberut muka.. karena balasanNya akan terasa saat kau berada di perut bumi,. Bukan sekarang..”

“Sintia.. ini semua karena kamu tidak pernah merasakan cinta yang mendalam, seperti cintaku padanya. Aku tahu aku salah, karena aku tidak hanya mencintai makhluqNya namun terlena hingga tergila-gila, aku lupa suatu saat aku pasti terpisah dengannya, tapi rasa yang ku miliki begitu indah.. kisah yang sempurna, ketika aku merasakan sakit karena memikirkan dia yang sedang sedih, ketika aku merasakan bahagia melihat rekah senyumnya, aku ingin menyayangi apa-apa yang ku miliki saat ini. Aku tak ingin kehilangan rasa ini, aku ingin memilikinya, meski sekarang belum saatnya” Linangan air mata Jany membasahi kerudung hijaunya. Lautan telah pecah di pelupuk matanya.

Sintia sangat resah, seolah ia tak mau melanjutkan debat panjang itu. Sintia perlahan kehilangan kekuatannya saat mendengar keluh sahabatnya yang penuh linang air mata. “Pelan-pelan Jany.. Kamu pasti sanggup” batin Sintia tak henti-hentinya berharap. Memang tak sekali ini saja, Sintia sering kurang tepat dalam menasihati Jany, kata-kata yang terdengar kurang halus menjadi awal percakapan, padahal seharusnya tidak begitu.

“Jany… cinta itu wajar, tanda keaguangan Tuhan, Tuhan menyukai cinta, namun kamu jangan lupa bahwa Dia juga sangat pencemburu”. Terang Sintia. “Aku lemah.. aku rapuh… aku tak mampu menguasai nafsuku, meski aku telah mengimbanginya dengan dzikir. Aku menyerah”. Suara serak Jany melelehkan hati Sintia yang sudah remuk. Tapi Sintia tak mau memperlihatkan kesedihannya, karena hal itu akan semakin membuat Jany merasa lemah.

“Nyerah? Gak malu sama nyamuk?,ambil resiko tewas di tangan manusia demi masalah perutnya terisi darah?. Belum lagi malu dengan manusia, wanita adalah tiang Negara, ibu manusia, dan sekarang ada satu wanita harus nyerah dengan kehidupan, apa nggak malu?? Iftahi ainaik wa janahaik!” Tegas Sintia.”Sudahlah Sintia, biarkan waktu yang menjawab semuanya, biarkan waktu yang memberi keputusan”. Jany lemas, dia benar-benar putus asa. “Jany.., dua hal yang mampu membantumu, perjuangan dan doa. Tuhan sumbernya manusia penyalurnya, keduanya berjalan beriringan yakin separuh dari perjuangan, separuhnya adalah realisasi. Jangan putus asa, langit tak selamanya kelam. Satu hal pelajaran lama. Yang membuatmu bertahan hingga saat ini, bahwa sakitlah yang membuatmu berani”. Perkataan Sintia tak ada yang salah, imajinasi Jany semakin kuat merangkai serpihan masa lalu saat dirinya mampu bangkit dari cobaan yang bertubi-tubi, tapi mengapa masalah cinta seakan melebihi beratnya cobaan-cobaan tersebut. “Kalau kamu mengandalkan waktu, itu sama saja dengan cari jalan pintas, sama saja seperti abang pengendara becak naik becak, bukannya mengendalikan tapi malah dikendalikan, iya jika jalannya sesuai dengan harapan kamu, kalau tidak?”,ucap Sintia semakin menekan dan memberi semangat. “Terimakasih sahabat.. dari mana aku harus memulainya?”, Tanya Jany sambil mengusap air matanya. “Modal utama adalah yakin, dalam bidang apapun, tanpa itu tidak ada semangat saat ada rintangan. Yakin itu separuh dari pastinya keberhasilan termasuk tembusnya doa di gerbang langit”.

Perlahan Jany merasa lega, Ingin rasanya ia memeluk sahabatnya itu, tapi karena menyentuh saja tidak bisa, Jany cukup merekahkan senyumnya tanda terimakasih. Mutiara yang mahal, tidak pada smua orang Jany bisa mendapatkan pelajaran berharga itu. Dan sekarang Jany tahu apa yang harus ia lakukan.

Hari telah berganti malam, kamis malam jumat yang slalu Jany isi dengan membaca yasin dan tahlil kepada almarhumah ibu dan keluarga yang telah mendahuluinya. Air matanya terus mengiringi bait-bait kitab suci yang ia baca, begitu juga saat ia berdzikir, Jany merintih dalam kesunyian dia mengharap kekuatan.

***

Assalamualaikum Wr Wb

Berkat kasih sayang Allah Jany dapat menggoreskan salam untuk mas.. entah surat apa ini bisa ku katakan,entah kabar buruk ataupun baik, . Bukan maksud Jany ingin meninggalkan mas.. namun dengan sepucuk surat ini Jany ingin memutuskan untuk meninggalkan kediaman, Jany akan berangkat ke pesantren minggu depan, dengan begitu Jany tak bisa melanjutkan hubungan kita.. Allah sudah sangat adil memberikan cinta kepada Jany namun selama ini Jany tak membalasNya. Jany ingin mencari cinta yang haqiqy, Mas…Ingat,.. Allah akan selalu menyayangi mas.. jadi jangan sedih Jany juga akan tetap menyayangi mas

Salam Sayidah Jany N.A

Setelah menulis surat, hati Jany terasa terbebas. Terbang lepas tanpa beban, setinggi baitul ma’mur, di atas langit ke tujuh,, secepat Jibril dengan 600 ribu sayapnya, sejauh air yang tak pernah berhenti mengalir sejak penciptaan alam. Surat bersampul merah muda dilipatnya sangat rapi. Dia melangkah ke rumah Ari dengan penuh do’a. angin terasa sangat kencang saat melihat Ari berada di beranda rumah, kaki Jany kaku,. “Allah.. bantu aku, berikan kekuatanmu..” hati Jany meminta. Jany teringat pertama kali jatuh cinta pada Ari. Dia lelaki pemalu dan halus dalam bertutur kata. Meski tak tampan, wajah Ari membuat Jany selalu merindu dan bermimpi di malam-malamnya. Maklum hati tak bisa sepenuhnya disalahkan, namanya juga rasa.

bersambung lageee yaaaa ^^
Digg it StumbleUpon del.icio.us

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright 2011 Aku, kau, dan kalian
Aroby Art : by faiq aroby. Supported by Bloggermint